BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Internasional merupakan bagian hukum yang mengatur aktifitas entitas bersekala internasional. Pada awalnya hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakn komplek. Hukum Internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa atau hukum antar negara. Hukum bangsa-bangasa dipergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antar raja zaman dahulu. Hukum antar bangsa atau negara menunjukan pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antar negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum satu sama lain.
Negara-negara yang termasuk kedalam massyarakat internasional selalu tidak tetap dan berubah-ubah, perjalanan sejarah yang panjang membuahkan banyak perubahan tersebut. Negara-negara lama lenyap atau bergabung dengan dengan negara lain unutk kemudian membentuk sebuah Negara baru, atau terpecah menjadi beberapa Negara baru, atau wilayah-wilayah koloni atau wilayah-wilayah jajahan melalui proses emansipasi memperoleh status Negara.
Perubahan-perubahan seperti ini telah meyebabkan persoalan-persoalan bagi massyarakat internasional salah satu dari persoalan tersebut adalah pengakuan (recognition) terhadap Negara baru atau pemerintah baru atau hal-hal yang berkaitan dengan perubahan status lainya.
Masalah pengakuan lama-kelamaan mau tidak mau harus dihadapi oleh beberapa Negara terutama apabila hubungan diplomatik dengan Negara-negara atau pemerintah-pemerintah yang diakui itu dianggap perlu untuk dipertahankan. Oleh karna itu dalam penulian makalah ini, penulis berupaya untuk mengupas fakta dan permasalahan yang terjadi yang berkaitan erat dengan pengkuan.
B. Identifikasi dan Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut, kami akan membatasi pokok bahasan makalah ini. Kami membatasi masalah menjadi
1. Pengaertian pengakuan
2. Pengakuan de jure dan de facto
3. Akibat hukum dari pengakuan
4. Pengakuan terhadap insurgensi dan beligerensi
5. Pengakuan berkenaan dengan wilayah dan non wilayah
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa itu Pengakuan
2. Bagaimana cara memperoleh pengakuan secara de jure maupun secara de facto
3. Untuk mengetahui apakah akibat dari pengakuan
D. Manfaat Penulisan
Dengan diselesaikannya penulisan makalah ini, penulisan makalah ini diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut :
1. Secara teoritis, hasil makalah ini dapat memberikan sumbangan pemikiran pada pengembangan ilmu hukum di bidang hokum internasional tentang pengakuan de jure dan de facto hokum internasional. Selain itu dapat memperluas pandangan ilmiah mengenai Pengkuan Hukum Internasional
2. Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi pembuat Undang-undang di bidag Hukum Internasional untuk melakukan pembaharuan peraturan perundang-undangan serta sistem hukumnya. Selain itu, sebagai bahan informasi bagi para pelaksana kebijakan dalam mengambil langkah-langkah perumusan kebijakan mengenai Pengakuan Hukum Internasional
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode yuridis normatif yang berbentuk studi pustaka. Yaitu tekhnik pengambilan data yang didasarkan pada sumber-sumber sekunder.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam karya tulis ini adalah :
Bab I : pendahuluan, yang terdiri dari : latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan
Bab II : pembahasan, yang terdiri dari : Pengertian pengakuan, macam-macam pengakuan, teori-teori pengakuan, akiat pengakuan, Pengakuan Terhadap Insurgensi dan Beligerensi, pengakuan berdasarkan wilayah dan non wilayah.
Bab III : penutupan, yang terdiri dari : Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pengakuan
Pengakuan (recognition) adalah perbuatan politik dari perbuatan hokum karena pengakuan merupakan perbuatan pilihan yang di dasarkan pada pertimbangan kepentingan negara yang mengakui dan bukann di dasarkan pada ketentuan kaidah hokum yang menimbulkan hak dan kewajiban berdasarkan hukum.
Nampaklah bahwa negara-negara dalam memberikan pengakuan ini semata-mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan alasan hukum. Dari praktek negara-negara tidak ada keseragaman dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan ini. Namun dengan diakuinya suatu negara/pemerintah baru, konsekuensi yang ditimbulkannya dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan Negara yang mengakui.
Konsekuensi politis misalnya, antara kedua negara dapat dengan leluasa mengadakan hubungan diplomatik, sedangkan konsekuensi yuridis misalnya berupa: Pertama, pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang sebenarnya, Kedua, pengakuan menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diakui; Ketiga, pengakuan memperkokoh status hukum negara yang diakui dihadapan pengadilan negara yang mengakui.
Selain alasan politis pemberian pengakuan suatu Negara kepada negara lain terlebih dahulu harus ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur minimum suatu negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru tersebut menguasai dan mampu memimpin wilayahnya.
Adapun unsur-unsur lain dari pemberian pengakuan yaitu: Pertama, pemerintah dalam negara baru tersebut harus mendapatkan kekuasaannya melalui cara-cara konsitutisional, kedua, negara tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain.
Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka dicoba memberikan definisi tentang pengakuan, yaitu tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subyek hukum internasional yang mengakibatkan hukum tertentu.
Identitas dan jumlah_jumlah Negara-negara yang termasuk kedalam masyarakat internasional selalu tidak tetap berubah-ubah. Perjalanan sejarah yang telah membuahkan tersebut Negara-negara lama lenyap atau bergabung dengan Negara lain atau membentuk suatu Negara baru, atau terpecah menjadi Negara baru atau wilayah-wilayah koloni atau wilayah jajahan melalui proses emansipasi memperoleh status Negara bahkan dalam lingkungan Negara yang ada, terjadi revolusi atau berkuasanya pihak militer dan status dari pemerintah-pemerintah barutersebut menjadi persoalan bagi Negara-negara lalin yang sebelumnya menjalin hubungan-hubunngan dengan pemerintah atau apabila tidak di ikuti kebijaksanaan untuk tidak mengakui pemerintah baru yang semata-mata karena pergaulan
Namun persoalan ini merupakan salah-satu dari persoalan yang cukup sulit dan pada tahap pengembangan hokum internasional ini dapat di kemukakan sebagai suatu kumpulan kaidah atau prinsip yang sedikit lebih memiliki kejelasan kalau tidak sebagai suatu rangkaian praktek Negara yang berubah-ubah tidak konsisten dan tidak sistematis yang meliputi juga kebjaksanaan Negara-negara, misalnya, sebagaimana yang akan lihat kita nanti, beberapa diantara Negara-negara itu menerapkan cara pengakuan tradisional atau tidak memberikan pengakuan terhadap pemerintah baru, sedangakan Negara-negara lain meninggalkan cara pengakuan dan mengembangakn system yang saat ini di pakai, sesuai dengan keadaan-kedaan dengan menjalin hubungan atau tidak mengadakan hubungan dengan rejim-rejim pemerintah yang baru tanpa memperhatikan diberikanya pengakuan resmi atau tidak mengakui secara resmi. Teori pembuktian lebih lanjut didukung oleh aturan-aturan berikut;
1. Aturan bahwa apabila timbul persoalan di pengadilan Negara yang baru saat mengenai saat Negara itu berdiri, maka tidak relepan untuk mempertimbangkan saat kapan diakui traktat-traktat dengan Negara lain yang mengakuinya berlaku. Saat persyaratan-persayaratan status kenegaraan di penuhi itulah sesungguhnya yang merupakan saat yang tepat
2. Aturan bahwa pengakuan juga berlaku terhadap pemerintah-pemerintah yang baru mempunyai akibat berlaku surut (retroactive) yaitu kembali kepada pmasa lahirnya Negara itu sebagai Negara merdeka.
Telah di kemukakan bahwa Negara memiliki kewajiban menurut hokum internasional untuk mengakui Negara baru atau pemerintah baru yang telah memenuhi persayratan-persyaratan status kenegaraan atau kapasitas pmerintahan , namun demikian exsistensi dari kewajiban tersebut tidak di dukung oleh presiden dan praktek yang kuat khususnya untuk perbedaan sikap seperti yang terjadi selama tahun 1949-1980 menyangkut pengakuan terhadap Republik rakyat cina, meskipun mungkin dapat dikatakan bahwa dalam pemberian pengakuan terhadap Negara-negara yang baru berdiri (misalnya kepada wilayah-wilayah dekolonisasi atau wilayah-wilayah perwalian yang telah memperoleh emansipasi) beberapa Negara menganggap bahwa dirinya terikat untuk memberikan pengakuan demikian
B. Macam –Macam Pengakuan
1. Pengakuan berdasarkan sifatnya:
a. Pengakuan Tidak Langsung
Pengakuan tidak langsung atau diam-diam (implied recognition), adalah keadaan-keadaan yang secara tegas mengindikasikan kemauan untuk menjalin hubungan resmi dengan negara atau pemerintah baru.
Dalam praktek peristiwa-peristiwa yang disimpulkan melegitimasi pengakuan secara tidak langsung, adalah;
1. Penandatangan suatu traktat resmi bilateral oleh negara yang mengakui dan yang diakui. Contoh; penandatangan Treaty of Commerce antara Cina Nasionalis dengan Amerika Serikat pada tahun 1928.
2. Dimulainya hubungan diplomatik resmi antar negara yang diakui dan yang mengakui.
3. Dikeluarkannya suatu exequatur konsuler (duta besar) oleh negara yang mengakui bagi konsul negara yang diakui.
b. Pengakuan Bersyarat
Jarang terjadi negara-negara diakui secara bersyarat, umumnya berupa suatu kewajiban yang harus dipenuhi negara itu, akibat pengakuan bersyarat demikian adalah apabila keawjiban-kewajiban tidak dipenuhi tidak akan menghapus pengakuan yang sudah diberikan, karena sekali pengakuan itu diberikan maka tindakan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Apabila dengan syarat yang ditentukan negara tidak memenuhinya tentu saja akan menimbulkan suatu pelanggaran, dengan pelanggran atas syarat-syarat tersebut maka negara yang diakui dapat dinyatakan bersalah melanggar hukum internasional, dan terbuka kesempatan bagi negara yang mengkui untuk memutuskan hubungan diplomatik sebagai sanksinya.
c. Pengakuan Kolektif
Pengakuan secara kolektif ini diwujudkan dalam suatu perjanjian internasional atau konferensi multilateral. Contoh; Melalui helsinki treaty tahun 1976, negara-negara NATO mengakui republik demokrasi jerman timur dan negara-negara pakta warsawa mengakui pula republik federal jerman. Pada tanggal 18 april 1975 kelima negara asean secara bersama mengakui pemerintahan kamboja yang baru segera setelah jatuhnya ibukota phnom penuh ke tangan kelompok komunis.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa masuknya suatu Negara sebagai anggota PBB sama sekali tidak berarti adanya pengakuan secara kolektif dari Negara-negara anggota organisasi dunia tersebut. Penerimaan suatu negara sebagai anggota PBB hanya berarti bahwa negara tersebut telah memenuhi persyaratan keanggotaan masyarakat internasional tersebut. Seperti telah disinggung sebelumnya, negara-negara arab pada umunya tidak mengakui israel walaupun sama-sama sebagai anggota PBB. Demikian juga suatu negara yang diterima sebagai anggota PBB tidak mempuyai hak untuk diakui oleh negara-negara lainnya.
Namun pendapat tersebut ditentang oleh Prof. George scelle dari universite de paris-sorbonne mengatakan tidak masuk akal negara-negara yang sama-sama anggota suatu organisasi internasional yang bersama-sama merumuskan resolusi, pernyataan, dan instrumen-instrumen hukum tetapi saling menolak eksistensi satu sama lain. Untuk memperkuat pandangannya ia merujuk pada pasal 10 pakta liga bangsa-bangsa yang menyebutkan bahwa negara-negara anggota saling menjamin keutuhan wilayah dan kebebasan politik masing-masing negara. Dengan demikian, menurut prof. George scelle adalah paradoksal untuk menolak mengakui suatu negara sedangkan sebelumnya integritas wilayah negara tersebut dijamin terhadap agresi dari luar. Orang hanya menjamin apa yang diakui dan apa yang akan dijamin kalau sebelumnya ada pengakuan. Selanjutnya dengan alasan yang sama, ia merujuk pada pasal 2 ayat 4 piagam, yang antara lain melarang digunakannya kekerasan terhadap keutuhan wilayah dan kebebasa politik negara-negara anggota.
d. Pengakuan terhadap Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan
Terhadap Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan tidak akan mempengaruhi pengakuan suatu negara. Tepatnya apabila pemerintah dari suatu negara menolak memberikan pengakuan terhadap suatu perubahan dalam bentuk pemerintahan negara lain, maka hal ini bukan berarti menghapuskan pengakuan terhadap status kenegaraanya.
2. Pengakuan berdasarkan jenisnya :
Pengakuan di bagi menjadi pengakuan de jure dan de facto ;
a. Pengakuan de facto adalah pengakuan yang di berikan dengan anggapan dan kepercayaan bahwa yang di akui untuk sementara dan dengan reservasi dikemudian hari telah memenuhi syarat dan hubungan internasional
b. Pengakuan de jure adalah pengakuan yang di dasarkan pertimbangan bahwa yang di akui telah memneuhi syarat untuk ikut serta dalam hubungan internasional
Pegankuan de jure berarti bahwa menurut Negara yang mengakui, Negara atau pemerintah yang diakui secara formal telah memenuhi persyaratan yang di tentukan hokum internasional untuk dapat berfartisipasi secara efektif dalam masyarakat Indonesia.
Pengakuan de facto berarti bahwa menurut Negara yang mengakui untuk sementara dan secara temporer serta dengan gejala reservasi yang layak di masa mendatang bahwa Negara atau pemerintah yang telah di akui telah memenuhi syarat berdasarkan fakta (de facto). Oleh karena itu Nampak bahwa sebutan de jure dan de facto secara tegas, tidak merupakan deskripsi atas proses pengakuan itu sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan status nrgara taau pemerintah tertentu untuk siapa pengakuan itu dikeluarkan.
Apabila ada bukti yang meyakinkan mengenai pengakuan de jure, maka peradilan tidak berhak untuk membuktikan telah adanya pengkuan de facto, juga atas suatu kesatuan yang berada di bawah pemerintah yang diakui secara de jure, apabila sebuah pengadila yang berkedudukan di suatu wilayah tertentu harus menentukan suatu pemerintahan yang baru yang tidak secara sah melaksanakan control terhadap wilyah tersebut, maka tidak ada persoalan mengenai pengakuan de jure terhadap pemerintah baru. Pengadilan ersebut harus memutuskan, bukan hanya mengenai apakah rezim yang merebut kekuasaan tersebut merupakan pemeritahan yang berdiri secara de facto, tetapi apakah rezim itu sama sekali merupakan suatu pemerintah yang sah menurut hokum.
Mengenai pengakuan de facto, apabila di berikan oleh negar-Negara yang tidak termasuk kedalam kelompok Negara-negara yang menganut kebijksanaan tidak mengakui pemerintaha yang baru, adalah keliru menganggap pengakuan demikian sebagai suatu pengakuan yang sifatnya selalu tentative atau yang dapat ditarik kembali; umumnya pengakuan ini merupakan suatu permulaan yang baik menuju bentuk pengakuan yang lebih formal dan lebh permanen, yaitu pengakuan de jure, kedua tipe pengakuan tersebut mensyaratkan adanya control pemerintah yang benar-benar efektif.
Pengakuan de facto terhadap suatu pemerintah asing mengikat secara konklusi. Pada akhirnya seperti juga pengakuan de jure karena alas an-alasan sebagaimana dikatakan oleh Waringgton L.J.., dalam perkataan Aksionairnoye Obschestvo A M Luther v James Sagor and Co.
“Dalam kasus belakangan, juga dalam kasus sebelumnya, pemerintah yang terkait mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai Negara merdeka yang berdaulat oleh Negara yang mengakui, dan meskipun demikian pemerintah kita tidak segan-segan menyatakan opini mengenai legalitas atau mengenai cara-cara sebagaimana kekuasaanya itu diperoleh”
Demikian juga bahwa tindakan pengakuan de facto mempunyai kekuatan berlaku surut(retroactive) persis seperti pengakuan de jure. Lebih lanjut, transaksi –transaksi dengan pemerintah suatu Negara asing yang telah memperoleh pengakuan de facto adalah mengikat terhadap Negara asing tersebut dan tidak dapat di hapuskan oleh pemerintah yang muncul kemudian yang menggulingkan pemerintah yang sebelumnya melalui cara kekerasan.
C. Teori – Teori Tentang Pengakuan
Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada beberapa teori :
1. Teori Deklaratoir
2. Teori Konstitutif
3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah.
Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional.
Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) suatu negara. Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum internasional.
Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain.
D. Pengakuan Terhadap Insurgensi dan Beligerensi
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
Pemberontakan adalah urusan dalam negeri suatu negara. Tujuan Pemberontakan : menggulingkan pemerintah yang sah, memisahkan diri dan membentuk negara sendiri, menuntut etonomi yang lebih luas. HI tidak menentukan hukuman apapun terhadap pemberontak.
Ada 3 istilah pemberontakan :
1. Revolution (revolusi), bertujuan untuk merombak secara radikal suatu tatanan politis atau sosial yang sudah mapan di seluruh wilayah negara.
2. Rebellion (rebeli), perjuangan sebagian wilayah negara untuk menggulingkan kekuasaan di wilayah negara lainnya.
3. Insurrection (pemberontakan), kegiatan yang luas dan tujuannya lebih sempit daripada kedua pengertian di atas.
Lahirnya pengakuan ini didorong oleh rasa kemanusiaan terhadap nasib kaum pemberontak yang menjadi buruan di negaranya, padahal mereka sebenarnya bukanlah penjahat kriminal biasa, melainkan pejuang-pejuang politik yang mengangkat senjata.
Pengakuan ini akan memberikan kedudukan hukum tertentu kepada kaum pemberontak, setidak-tidaknya untuk menjamin bahwa tindakan-tindakan mereka tidak dianggap semata-mata sebagai pelanggaran hukum belakag. Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada kaum pemberontak tidak berarti negara tersebut berpihak kepada kaum pemberontak tersebut.
Pengakuan ini sifatnya lebih jelas dan tegas daripada pengakuan pemberontak. Pengakuan ini diberikan jika kaum pemberontak kedudukannya kuat dan seolah-olah sudah memiliki pemerintahan sendiri sebagai tandingan pemerintahan yang sedang berkuasa, seakan-akan ada dua pemerintahan yang sedang bertanding. Negara ketiga akan memberikan pengakuan beligerensi dan kaum pemberontak akan diakui statusnya sebagai belligerent, yang mempunyai konsekuensi.
Kapal-kapal kaum pemberontak diijinkan memasuki pelabuhan negara yang mengakuinya;
1. Dapat mengadakan pinjaman-pinjaman;
2. Berhak mengadakan penggeledahan terhadap kapal-kapal di lautan serta melakukan penyitaan barang-barang selundupan;
3. Berhak melakukan blockade
Namun yang terpenting, negara-negara yang memberikan pengakuan beligerensi tersebut harus tetap menjaga netralitasnya. Pengakuan ini sifatnya sementara, karena jika salah satu pihak menang / kalah maka pengakuan ini tidak berlaku lagi.
E. Pengakuan Berdasarkan Wilayah dan Non Wilayah
Sering Negara-negara memperoleh wilayah baru atau hak-hak lain melalui tindakan sepihak yang kemungkinan:
a. Sesuia dengan hukum internasional
b. Melanggar hukum internasional
Dalam hal melanggar hokum internasional, pengakuan mungkin dapat di upayakan untuk mengubah keraguan atas hak tersebut menjadi sesuatu yang sah dank arena pengakuan itu akan menjadi pelepasan dari tuntutan Negara-negara lain berupa klaim-klaim atau keberatan-keberatan yang tidak sesuai dengan hak yang diakui, dengan cara ini kemungkinan bahwa tidak di berikanya pengakuan akan melemakan tuntutan yang di dasarkan atas persetujuan diam-diam di kesampingkan. Kesinambungan hubungan-hubungan resmi dengan Negara yang bersangkutan, setelah pengambil alihan wilayah tersebut tidak dengan sendirinya mengandung arti pengakuan terhadap hak atas wilayahnya.
F. Akibat-Akibat Hukum Dari Pengakuan
Pengakuan menimbulkan akibat-akibat/konsekuensi hukum yang menyangkut hak-hak, kekuasaan-kekuasaan dan privilege-privilege dari negara atau pemerintah yang diakui baik menurut hukum internasional maupun menurut hukum nasional negara yang memberikan pengakuan.
Kapasitas dari suatu negara atau pemerintah yang diakui dapat dilihat dari segi negative, dengan cara mengetahui kelemahan-kelemahan dari suatu negara yang tidak diakui. Kelemahan hukum yang utama dari suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui, adalah antara lain, sebagai berikut:
1. Negara itu tidak dapat berperkara di pengadilan-pengadilan negara yang belum mengakuinya. Prinsip yang melandasi kaidah ini secara tepat ditegasaka dalam suatu kasus Amerika : “suatu negara asing yang mengajukan perkara di Mahkamah kita bukanlah karena persoalan hak. Kewenangan unutk melakukan hal tersebut merupakan komitas (kesopanan). Sebelum Pemerintah tersebut diakui oleh Amerika Serikat, maka komitas demikian tidak ada”.
2. Dengan alasan prinsip yang sama, tindakan-tindakan dari suatu negara atau pemerintah yang belum diakui pada umumnya tidak akan berakibat hukum dipengadilan-pengadilan negara yang tidak mengakuinya sebagaimana yang biasa diberikan menurut aturan-aturan “komitas”
3. Perwakilannya tidak dapat menuntut imunitas dari proses peradilan
4. Harta kekayaaan yang menjadi hak suatu negara yang pemerintahannya tidak diakui sesungguhnya dapat dimiliki oleh wakil-wakil dari rezim yang telah digulingkan.
Dengan adanya pengakuan mengubah kelemahan-kelemahan ini menjadi negara atau pemerintah yang berdaulat yang berstatus penuh. Dengan demikian untuk negara yang diakui akan mendapatkan:
1. Memperoleh hak untuk mengajukan perkara di muka pengadilan-pengadilan negara yang mengakuinya.
2. Dapat memperoleh pengukuhan atas tindakan-tindakan legislatif dan eksekutif baik di masa lalu maupun di masa mendatang oleh pengadilan-pengadilan negara yang mengakuinya.
3. Dapat menuntut imunitas dari pengadilan berkenaan dengan harta kekayaan dan perwakilan-perwakilan diplomatiknya.
4. Berhak untuk meminta dan menerima hak milik atau untuk menjual harta kekayaan yang berada didalam yuridiksi suatu negara yang mengakuinya yang sebelumnya menjadi milik dari pemerintah terdahulu.
Menurut hukum internasional, status negara atau pemerintah yang diakui secara de jure membawa serta hak-hak istimewa penuh keanggotaan dalam massyarakat internsional. Dengan demikian negara tersebut memperoleh kapasitas untuk menjalin hubungan-hubungan diplomatik dengan negara-negara lain dan untuk membentuk traktat-traktat dengan negara negara tersebut. Juga negara-negara tersebut tunduk pada berbagai kewajiban menurut hukum internsional dalam hubungannya dengan negara atau pemerintah yang baru diakui, yang pada gilirannya menimbulkan kewajiban-kewajiban yang sama secara timbal-balik. Oleh karna itu, maka sejak pengakuan tersebut, kedua belah pihak memikul beban hak dan kewajiban hukum internasional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga pengakuan merupakan masalah yang cukup krusial dalam rana hukum internasional karena tidak ada satu ketentutan hukum internsional yang mengatur tentang lembaga pengakuan tersebut. Kerap kali dalam praktek sebagian besar negara, pengakuan merupakan masalah politik daripada masalah hukum.
Kebijaksanaan dari suatu negara untuk mengkui negara lain ditentukan terutama oleh perlunya perlindungan atas kepentingan-kepentingan negara yang erat kaitannya dengan terpelihara hubungan dengan setiap negara baru atau pemerintah baru yang mungkin stabil dan tetap. Pertimbangan politis lainya adalah: perdangan, strategi dan lainnya yang akan menimbulkan pertimbangan-pertimbangan suatu negara dalam memberikan pengakuannnya.
B. Saran
Lembaga pengakuan memang memiliki tempat tersendiri dalam hukum internsaional, apabila suatu negara tidak diakui oleh negara lain maka negara tersebut tidak dapat mengadakan hubungan dengan negara yang bersangkutan. Dalam praktek cenderung lembaga pegakuan dihantui oleh nuansa politik, oleh karna itu terdapat suatu istilah bahwa lembaga pengkuan sebernya bukan sesuatu yang berdampak yuridis tetapi hannya sekedar kegiatan-kegiatan petimbangan kepentingan semata.
Harapan saya dalam kesempatan ini agar negara tidak lagi menggunakan kepentingannya untuk memberikan pengakuan kepada negara lain. Saya berharap agar ada ketentuan khusus yang secara limitatif menegasakan bahwa garis-garis besar suatu negara yang pantas diakui itu seperti apa, agar tidak ada lagi kerancuan yang terjadi seperti sebagian negara mengakui negara lain, sedangkan sebagian lagi tidak.
DAFTAR FUSTAKA
Starke J.G., 2010. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta : Sinar Grafika.
tyosetiadilaw.wordpress.com/2010/04/14/pengakuan-dalam-hukum-internasional/
sm-noor.blogspot.com/2012/02/pengakuan-dalam-hukum-internasional.html?m=1