A. KARTEL
DAN PERSAINGAN USAHA
Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan yang
dimiliki setiap individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi
perdagangan di pasar – pasar. Persaingan usaha diyakini sebagai meanisme untuk
dapat mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat.
Berbicara tentang kartel, dari aspek teori kebijakan
persaingan usaha, kartel merupakan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga bersaing di pasar. Kartel
pada umumnya tumbuh dalam pasar dengan struktur oligopoly. Dengan struktur pasar yang terdiri atas hanya beberapa
penjual ( pelaku usaha ) ini, maka pelaku usaha akan lebih mudah untuk bersatu,
bekerja sama, serta menguasai dan mengontrol sebagian besar pasar untuk menjadi
perusahaan yang lebih besar. Jadi, strategi kolektif, dan menghambat pesaing
potensial dengan cara menciptakan hambatan masuk pasar. Sebagai konsekwensinya,
kartel yang merupakan suatu perjanjian kolutif patut dilarang, karena dengan
alasan – alasan yang umumnya secara terselubung ( some reason impeded ) kartel menimbulkan terbentuknya semacem
koordinasi dalam pengaturan harga, kuota, dan atau alokasi pasar yang dapat
menimbulkan kerugian konsumen.
Kartel akan
berdampal mengurangi atau melemahkan persaingan ( lessen completion ) bahkan
meniadakan atau mengakhiri persaingan ( suppress competition ). Hal ini dapat
terjadi apabila kartel menimbulkan barrier to entry bagi pelaku usaha baru
untuk masuk pasar, seryta apabila pangsa pasar secara keseluruhan dari
cartellist tergolong besar. Kartel akan meniadakan kebebasan penjual ( pelaku
usaha ) untuk memilih pembeli, sementara pada sisi konsumen, kartel akan
mengurangi akan meniadakan kebebasan pembeli ( konsumen ) untuk memilih
penbjual ( pelaku usaha ).
Pengaturan tentang unsure pokok kartel dalam kebijakan
persaaingan usaha diindonesia terdapat di dalam pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.
Pasal 11 Menentukan :
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingan nya yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Selain pasal 11 tersebut, beberapa aturan didalam UU No.
5 Tahun 1999 juga mengatur unsur – unsur spesifik dari perilaku kartel, seperti
pasal 4 ( perjanjian oligopoly ), pasal 5 ( perjanjian penetapan harga ), pasal
7 ( perjanjian penetapan harga dibawah harga pasar ), pasal 9 ( perjanjian
pembagian wilayah ), pasal 12 ( trust ), pasal 13 ( perjanjian oligopsoni ),
pasal 14 ( integrasi vertical ), dan pasal 15 ( perjanjian tertutup ). Oleh
karenanya, dalam hukum kartel dikenal dengan adanya beberapa pilar penting,
meliputi kesepakatan horizontal, kesepakatan vertical, perilaku sepihakjuga
pengawasan merger.
Kontruksi kartel sebagaimana diatur didalam Pasal 11 UU
No. 5 Tahun 1999 meliputi :
1. Kartel
merupakan suatu perjanjian;
2. Perjanjian dilakukan antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha pesaingannya;
3. Tujuan dilakukannya perjanjian adalah untuk
mempengaruhi harga suatu produk;
4. Perjanjian dilakukan dengan cara mengatur produksi
atau pemasaran suatu produk;
5. Perjanjian dapat mengakibatkan praktik monopoli dan
pesaingan usaha tidak sehat.
Secara
umum, dikenal ada beberapa jenis kartel,
misalnya kartel harga, kartel kuota, kartel rasionalisasi, kartel pembeli,
kartel tender, kartel standar, kartel kondisi. Dalam hukum kartel Indonesia,
dikenal juga adanya kesepakatan horizontal dan kesepakatan vertical. Contoh
kesepakatan horizontal adalah penetapan harga, pembagian wilayah, atau
persekongkolan. Ketiga hal ini sering disebut dengan Cartel Hardcore, yang
dilarang secara per se rule. Contoh kesepakatan vertical, misalnya penetapan
harga vertical, sistem franchise, dan sistem distribusi selektif.
B.
PENILAIAN EKSISTENSI KARTEL
Kartel
merupakan jenis perjanjian yang dilarang yang sering ditemukan didalam praktik.
Praktek kartel yang sering dilakukan di Indonesia biasanya secara terselubung,
dengan menggunakan nama asosiasi pelaku usaha tertentu. Contoh kartel dapat
terwujud ke dalam beberapa praktik, yaitu :
1. Pelaku
usaha untuk yang bergabung dalam asosiasi industry jasa transportasi yang
menetapkan tariff seragam untuk jasa transportasi yang diberikan;
2. Pelaku
usaha sejenis membuat kesepakatan yang isinya membatasi produk misalnya melalui
pembagian kuota diantara mereka, dan kemudian menaikan harga atau mencegah
penurunan harga;
3. Pelaku
usaha sejenis membuat kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran bagi masing –
masing pelaku usaha sehingga melemahkan pesaingan usaha di antara mereka, dan
kemudian menaikkan harga atau mencegah penurunan harga;
4. Pelaku
usaha sejenis membuat kesepakatan untuk membagi pangsa pasar di suatuy wilayah
pemasaran bersama, sehingga dapat menaikan harga atau mencegah penurunan harga;
5. Pelaku
usaha sejenis mendirikan agen pemasaran bersama, sehingga dapat menetapkan
harga, jumlah pasokan, wilayah pemasaran, dan atau pangsa pasar produk dari
masing – masing pelaku usaha, sehingga melemahkan persaingan usaha diantara
mereka, dan kemudian dapat memberikan keuntungan lebih kepada masing – masing
pelaku usaha pembentuk agen pemasaran bersama tersebut.
6. Pelaku
usaha sejenis membuat kesepakatan menetapkan harga penawaran kepada ke pemasok
atau pemberi proyek.
C. PENEGAKAN
HUKUM KARTEL
Persoalan yang
dihadapi dalam penegakan hukum kartel adalah sulitnya dalam menilai dan
membuktikan telah dilakukannya perjanjian pendirian kartel terutama bila
perjanjiannya secara lisan. Jadi meskipun perwujudan kartel dalam praktik cukup
banyak,namun untuk memprosesnya secara hukum masih mengalami kendala dalam hal
pembuktian. Hal ini juga dipengaruhi oleh praktik kartel yang seringkali
terselubung, misalnya dalam wujud asosiasi-asosiasi, maupun konsorsium yang
justru memperoleh dukungan dari pemerintah. Pelaku usaha dalm kartel
(cartellis) akan melakukan strategi-strategi rahasia dan penuh konspirasi yang
menguntungkan mereka, ketimbang melakukan persaingan usaha secara fair.
Mengenai
pembuktian terhadap kartel, pasal 42 huruf d UU No.5 Tahun 1999 menentukan
bahwa secara umum alat-alat bukti pemeriksaan oleh KPPU adalah berupa:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. suerat dan atau dokumen;
d. petunjuk;
e. keterangan pelaku usaha
sebagaimana
diatur dalam hukum pembuktian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), alat bukti tersebut tidak bersifat kumulatif, artinya harus
dipenuhi semuanya, tetapi bersifat alternatif. Dipersyaratkan bahwa bila sudah
dipenuhi dua alat bukti yang saling mendukung, maka sudah memenuhi batas
minimal dalam pembuktian. Terkait hal tersebut, Pasal 183 KUHAP menetukan:
“hakim tiodak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwahlah yang bersalah
melakukannya”.
Oleh karnanya, walaupun
alat bukti perjanjian tidak dapat diperoleh, masih ada alat-alat bukti lain
yang dapat diajukan oleh KPPU. Selain itu, esensi perjanjian sebenarnya
terletak pada perbuatan mengikatkan diri untuk melakukan
kesepakatan-kesepakatan tertentuu. Jadi, KPPU dapat menunjukan adanya
perjanjian lisan diantara pelaku usaha melalui catatan-catatan pertemuan,
disertai bukti-buktiu adanya prilaku saling menyesuaikan dari perilaku usaha
untuk melakukan pengaturan harga.
Terhadap pelaku kartel,
KKPU dapat melakukan tindakan penegakan hukum sesuai ketentuan pasal
36,khususnya huruf b, d, j, dan l berikut ini :
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan
usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak
adnya praktik monopoli san atau persaingan usaha tidak sehat;
j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak pelaku
usaha lain atau masyarakat;
l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrative kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.
Terkait
kewenangan-kewenangan yang dimiliki KKPU terutama dalam memeriksa kartel ,
dalam praktik KKPU telah melakukan berbagai penilaian dan analisis baik
terhadap penyebab kessepakatan, struktur perusahaan,maupun dampak kartel.
Sebagai contoh, dalam kasus kartel di Lini 2 Tanjung Priok, KKPU telah
melakukan analisis terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya kesepakatan harga
(tarif) yang dilakukan asosiasi, juga mengkaji struktur industrinya,
menganalisis kewenangan pemerintah dan regulasi yang mengatur kegiatan industri
penunjang pelanuhan, serta menganalisis dampak kartel terhadap persaingan.