Sejarah Hukum Acara Perdata
Berbicara mengenai hukum acara perdata, perlu menguraikan dua hal yaitu
sejarah ketentuan perundang-undangan yang mengatur hukum acara di
peradilan dan sejarah lembaga peradilan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesich Reglement
(HIR). HIR mengatur tentang acara di bidang perdata dan di bidang
pidana. Dengan berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur
hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku.
Nama semula dari Herziene Indonesich Reglement (HIR) adalah Inlandsch
Reglement (IR), yang berarti Reglemen Bumiputera. Perancang IR itu
adalah Mr. Wichers, waktu itu presiden dari Hoogerechtshof, yaitu badan
pengadilan tertinggi di Indonesia di zaman kolonial Belanda. Dengan
surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen tertanggal 5 Desember 1846
No. 3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang sebuah
reglement (peraturan) tentang administrasi, polisi serta proses pidana
bagi golongan bumi putera. Dalam waktu singkat kurang dari satu tahun,
Mr. Wichers berhasil mengajukan sebuah rencana peraturan acara perdata
dan pidana, yang terdiri atas 432 pasal.
Reglement Indonesia atau IR ditetapkan dengan Gouvernements Besluit
(keputusan Pemerintah), tanggal 5 april 1848, staatsblad 1848 No. 16
dengan sebutan Reglement op de uitoefening van de Indonesier en de
vreemde Oosterlingen op Java en Madura atau lazim disebut Het Inlands
Reglement. Disingkat IR dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
Pembaharuan IR menjadi HIR Tahun 1941 (staatsblad 194 1-44) ternyata
tidak membawa perubahan suatu apa pun pada hukum acara perdata di muka
pengadilan negeri. Pembaruan pada IR tersebut, sebetulnya hanya terjadi
dalam bidang pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada
perubahan.
Jaksa waktu itu berbeda dengan penuntut umum bagi golongan Eropa, yang
betul-betul merupakan suatu aparatur negara yang merdeka dan terdiri
atas Officieren van Justitie yang semuanya sarjana hukum. Keadaan
tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda sudah lama dirasakan sebagai
suatu penghinaan bagi golongan penduduk asli, maka sewaktu timbul
kegoncangan di kawasan Samudera Pasifik dengan pecahnya perang Timur
Asia, demi untuk mengikat bangsa Indonesia, pemerintah kolonial Belanda
memberikan hadiah berupa kejaksaan (Op en bare Ministerie) yang berdiri
sendiri (zelfstanding). Dengan dimulai di kota-kota besar seperti
Jakarta, Semarang dan Surabaya, secara berangsur-angsur didirikan Parket
van de Officer van Justitie bij de landraad Tahun 1941.
Pada zaman Hindia Belanda sesuai dengan dualisme hukum, maka pengadilan
di bagi atas peradilan gubernemen dan peradilan pribumi. Pengadilan
gubernemen untuk orang Eropa adalah: Raad van Justitie, dan Hoogerechtshof. Sedangkan pengadilan untuk orang Bumiputera adalah: Landraad, dan Raas van Justitie.
Peradilan Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak dan di luar Jawa
di lain pihak. Untuk Bumiputera di Jawa dan Madura dikenal pengadilan
Districtgereccht, Regenschapgerecht, Peradilan swapraja yaitu peradilan
di daerah swapraja yang mana di Jawa ada tiga peradilan swapraja yaitu
Surakarta; Yogyakarta dan Mangkunegara, serta peradilan pribumi yaitu
peradilan orang pribumi di daerah yang diperintah langsung.
Bagi orang Bumiputera di luar Jawa dan madura juga dikenal beberapa
peradilan yaitu: Negorijrecht Bank (khusus Ambon), Districtgerecht
(khusus Bangka-Belitung, Manado, Sumatera Barat, Tapanuli, dan
Banjarmasin-Ulu sungai), Magistraats gerecht, dan Landgerecht.
UU Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 1 berisi bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. Sedangkan pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Yang dimaksud badan peradilan
yang berada di bawah mahkamah agung menurut ayat (2) meliputi:
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha
Negara
Sumber : http://www.referensimakalah.com