BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan Pemasyarakatan Di Indonesia
Bentuk perkembangan Permasyarakatan berhubungan erat
dengan bentuk tujuan pemidanaan. Dalam perkembangan tujuan pemidanaan, muncul
beberapa teori-teori mengenai tujuan pemidanaan.
Ada tiga
golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :
1.
Teori
absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings
theorieen)
Menurut teori ini,
pidana dijatuhkan semata-mata karena telah melakukan suatu kejahatan atau
tindak pidana. Pidana semata-mata ditujukan hanya untuk pembalasan. Menurut
Johanes Andenaes tujuan utama pidana adalah untuk memuaskan keadilan, sedangkan
pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah merupakan tujuan kedua.
Selain dari itu
teori pidana ini dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana (quia
peccatum est). Menurut teori absolut ini kejahatan harus diikuti dengan
pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh
karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul
dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan
dirugikan.
Menurut Karl. O.
Christiansen, teori pembalasan/ retributive
ini memiliki ciri-ciri pokok atau karakteristik, yakni:
1)
Tujuan pidana
adalah semata-mata untuk pembalasan;
2)
Pembalasan adalah
tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain
misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
3)
Kesalahan
merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
4)
Pidana harus
disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
5)
Pidana melihat ke
belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak memperbaiki,
mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
2.
Teori
relative atau teori tujuan (utilitarian/ doeltheorieen)
Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memuaskan
tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,
tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu menurut Johanes Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Dasar
pemidanaan dari teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Menurut Karl. O. Christiansen, teori tujuan/ utilitirian ini memiliki ciri-ciri pokok
atau karakteristik, yakni:
1)
Tujuan pidana
adalah pencegahan (prevention);
2)
Pencegahan bukan
tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi yaitu kesejahteraan;
3)
Hanya
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja
(misal karena sengaja atau culpa)
yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
4)
Pidana harus
ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
5)
Pidana melihat
kemuka (bersifat prospektif), pidana
dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur
pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan
untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
b.
Teori gabungan (verenigings theorieen)
Selain dari teori-teori yang dikemukakan di atas, ada
juga yang namanya teori gabungan, teori gabungan ini pertama kali dikemukakan
oleh Pellegrino Rossi, ia mengatakan bahwa sekalipun ia mengangap bahwa
pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh
melampaui suatu pembalasan yang adil, tetapi dia berpendirian bahwa pidana
mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam
masyarakat dan prevensi general.
Muladi, Guru Besar Hukum Pidana UNDIP di dalam
Disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor yang berjudul “Lembaga Pidana Bersyarat Sebagai Faktor yang Mempengaruhi Proses Hukum
Pidana yang Berperikemanusiaan” memperkenalkan teori Tujuan Pemidanaan yang
integratif (Kemanusiaan dalam Sistem Pancasila) yang tepat untuk diterapkan di
Indonesia. Ia menyatakan bahwa dalam rangka mengatasi masalah pemidanaan yang
kompleks yang terjadi saat ini diperlukan pendekatan multidimensional yang
bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang
bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial.
Pada dasarnya inti dari teori gabungan ini adalah
tujuan pidana itu di satu sisi sebagai pembalasan, tapi di satu sisi sebagai
perlindungan masyarakat atau bisa dikatakan sebagai prevensi khusus dan
prevensi umum. Prevensi khususnya ialah membina dan mendidik si pelaku yang
melakukan tindak pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi, dan bertujuan
supaya si terpidana berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi
masyarakat, sedangkan prevensi umum ialah mencegah serta mempengaruhi
masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana, serta melindungi masyarakat dan
mensejahterakan masyarakat (Social
Defence and Social Walfare).
Dalam rancangan KUHP nasional telah diatur tentang
tujuan penjatuhan pidana yaitu :
1)
mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2)
mengadakan koreksi terhadap
terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3)
menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan olah tindakan pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat.
4)
membebaskan rasa bersalah pada terpidana (
pasal 5 ).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum
dalam rancangan KUHP tersebut merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti
yang luas. Ia meliputi usaha prefensi, koreksi kedamaian dalam masyarkat dan
pembebasan rasa bersalah pada terpidana (mirip dengan expiation).
Pembinaan
Narapidana di Indonesia secara konstitusional dikenal sejak berlakunya Reglemen
Penjara (Gesichten Reglement 1917 Nomor 708) yang dibuat oleh pemerintah
kolonial Belanda sebagai realisasi ketentuan pidana penjara yang terkandung
dalam Pasal 10 KUHP.
Sistem pemenjaraan ini sangat menekankan unsur pembalasan semata terhadap
pelaku tindak pidana agar pelaku tindak pidana jera. Kesan pembalasan yang
menjiwai peraturan kepenjaraan telihat dari ketidakjelasan arah dan tujuan yang
hendak dicapai dari penjatuhan pidana. Selain itu juga terlihat dari adanya
kewajiban narapidana untuk mengikuti pekerjaan baik didalam maupun diluar
penjara. Institusi yang digunakan pada sistem pemenjaraan adalah rumah penjara
bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
Pola pembinaan
narapidana mengalami pembaharuan sejak dikenal gagasan pemasyarakatan yang
dikemukakan oleh Sahardjo, pada pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa
dalam bidang ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya
beliau memberikan rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut :
a.
Tujuan
dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena
hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana bertobat, mendidik supaya
ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.
b.
Tujuan
dari pidana penjara adalah pemasyarakatan.
Sistem kepenjaraan dan sistem
pemasyarakatan perbedaannya terletak pada asas tujuan dan pendekatan yang
melandasi tata perlakuan (pembinaan) terhadap para narapidana.
No.
|
Perbedaan
|
Sistem Kepenjaraan
|
Sistem Pemasyarakatan
|
1.
|
Asas
|
Titik berat pada pembalasan, memberikan derita kepada
pelanggar hukum.
|
Pancasila (falsafah negara).
|
2.
|
Tujuan
|
Supaya pelanggar hukum menjadi jera, masyarakat dilindungi
dari perbuatan jahatnya.
|
Disamping melindungi masyarakat, juga membina narapidana
agar selama dan terutama setelah selesai menjalani pidananya ia dapat menjadi
manusia yang baik dan berguna.
|
3.
|
Pendekatan
|
Pendekatan keamanan dan pengasingan dari masyarakat secara
penuh.
|
Pendekatan keamanan melalui tahap maksimum, dan minimum security dan dilakukan pula pendekatan
pembinaan (treatment approach) di
dalam maupun diluar lembaga pemasyarakatan dengan menerapkan metode
kekeluargaan.
|
Dalam sistem pemasyarakatan,
narapidana dipandang sebagai manusia yang memiliki fitrah kemanusiaan, itikad
dan potensi positif yang dapat digali dan dikembangkan dalam rangka pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya, jadi berlainan dengan sistem kepenjaraan yang
semata-mata bersifat balas dendam dan penjelasan terhadap narapidana.
Dalam sistem pemasyrakatan
dimaksudkan sebagai suatu proses pembinaan narapidana yang bertujuan untuk
membina narapidana dalam arti menyembuhkan seseorang yang sementara tersesat hidupnya
karena ada kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Disamping itu juga mereka
dapat menjadi manusia seutuhnya bagaimana telah menjadi arah pembangunan
nasional, hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi sistem pemasyarakatan (Pasal
2 dan 3 Undang-undang tentang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995) yaitu :
a.
Dalam rangka membentuk warga binaan sistem pemasyarakatan
(antara lain narapidana) agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang
baik dan bertanggung jawab.
b.
Menyiapkan warga binaan pemasyarakatan (antara lain
narapidana) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat yang bebas
dan bertanggung jawab.
c.
Mampu menempatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
B. Pengertian,
Tujuan, dan Fungsi Pemasyarakatan
Lembaga
Pemasyarakatan (disingkat LP atau Lapas) adalah tempat untuk melakukan
pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia,
tempat tersebut disebut dengan istilah penjara.
Eksistensi
pemasyarakatan sebagai instansi penegakan hukum telah diatur secara tegas di
dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal 1
ayat (1) menyatakan bahwa:
“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk
melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan
dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana.”
Sedangkan
dalam Pasal 1 butir 2 Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan yang dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan adalah:
“Suatu tatanan mengenai arah dan
batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggungjawab.”
Tujuan
diselenggarakannya Sistem Pemasyarakatan adalah dalam rangka membentuk Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (Pasal 2
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
Yang
dimaksud dengan “agar menjadi manusia seutuhnya” adalah upaya untuk memulihkan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya,
dan manusia dengan lingkungannya (Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12
tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
Fungsi
Sistem Pemasyarakatan yaitu menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab (Pasal 3
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Yang dimaksud dengan
“berintegrasi secara sehat” adalah pemulihan kesatuan hubungan Warga Binaan
Pemasyarakatan dengan masyarakat.
C. Asas Sistem Pembinaan Masyarakat
Sistem pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
Pengayoman;
b.
Persamaan perlakuan dan pelayanan;
c.
Pendidikan;
d.
Pembimbingan;
e.
Penghormatan harkat dan martabat
manusia;
f.
Kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan;
g.
Terjaminnya hak untuktetap
berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
“Pengayoman”
adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi
masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.
“Persamaan
perlakuan dan pelayanan” adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama
kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.
“Pendidikan”
adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan
Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan
kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
“Penghormatan
harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga
Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlukan sebagai manusia.
“Kehilangan
kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan” adalah Warga Binaan
Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga
mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, (Warga Binaan
Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia,
dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh
perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan,
keterampilan, olah raga, atau rekreasi).
“Terjaminnya
hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu” adalah
bahwa walaupun Warga Negara Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus
tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan
dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk
kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan
kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti
mengunjungi keluarga.
Kemudian
selain dari asas-asas di atas, Pasal 8 UU No. 12 Tahun 1995, Pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan dilakkkan di LAPAS dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan dilakukan oleh BAPAS. Sedankgan pembinaan di LAPAS dilakukan
terhadap NARAPIDANA dan Anak DIDIK Pemsayarakatan.
Pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan d LAPAS dilaksanakan:
a.
Secara intramural (di dalam LAPAS);
dan
Pembinaan secara intramural yang
dilakukan di LAPAS disebut asimilasi,
yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi
persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat.
b.
Secara ekstramural (di luar LAPAS).
Pembinaan secara ekstramural juga
dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi,
yaitu proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenui
persaratan tertentu untuk hidup dan berada kembal di tengah-tengah masyarakat
dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.
Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan
terhadap:
1)
Terpidana bersyarat;
2)
Narapidana, Anak Pidana dan Anak
Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;
3)
Anak Negara yang bersasarkan putusan
pengadilan, pembinaan diserahkan kepada orang tua asuh atau badan social;
4)
Anak Negara yang bersdasarkan
Keputusan Menteri atau Pejabat di Lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan
yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
dan
5)
Anak yang berdasarkan penetapan
pengadilan, bimingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya. (Pasal 6
ayat (3)).
D. Proses Pemasyarakatan
Konsep
pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo
pada tahun 1962,
dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan
hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang
yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
Saat
seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka
hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Walaupun terpidana kehilangan
kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem
pemasyarakatan Indonesia.
Untuk melaksanakan sistem
pemasyarakatan, maka harus ada petunjuk teknis yang dapat berguna sebagai
pedoman atau petunjuk pelaksana dalam setiap tindakan dalam penanganan
narapidana agar sistem pemasyarakatan dapat berjalan dengan baik, seperti
tertuang dalam Surat Edaran Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan No. K.P.
10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang “Pemasyarakatan Sebagai Proses di
Indonesia” maka metode yang dipergunakan dalam proses pemasyarakatan ini
meliputi 4 (empat) tahap, yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat
terpadu sebagaimana di bawah ini :
1.
Tahap Orientasi / Pengenalan
Setiap
narapidana yang ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan itu dilakukan
penelitian untuk mengetahui segala hal tentang diri narapidana, termasuk
tentang apa sebabnya mereka telah melakukan pelanggaran, berikut segala
keterangan tentang diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari
bekas majikan atau atasan mereka, dari teman sepekerjaan mereka, dari orang
yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas instansi lain yang
menangani perkara mereka
2.
Tahap Asimilasi dalam Arti Sempit
Jika pembinaan diri narapidana dan
antara hubungannya dengan masyarakat telah berjalan kurang dari 1/3 masa pidana
sebenarnya menurut Dewan Pembinaan Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan
dalam proses antara lain: bahwa narapidana telah cukup menunjukkan
perbaikan-perbaikan dalam tingkah laku, kecakapan ia
menunjukkan keinsafan, disiplin dan patuh pada peraturan-peraturan tata tertib
yang berlaku di lembaga pemasyarakatan dan lain-lain. Maka tempat atau wadah utama dari proses
pembinaanya ialah gedung lembaga pemasyarakatan terbuka dengan maksud
memberikan kebebasan bergerak lebih banyak lagi dengan
memberlakukan tingkat pengawasan medium
security
atau para narapidana yang sudah dalam tahap ini dapat dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan Terbuka. Di tempat baru ini narapidana diberi tanggungjawab
terhadap masyarakat. Bersamaan dengan ini pula dipupuk rasa harga diri,
tatakrama, sehingga dalam masyarakat luas timbul kepercayaannya dan berubah
sikapnya terhadap narapidana. Kontak dengan unsur-unsur masyarakat frekuensinya
lebih diperbanyak lagi misalnya kerjabakti dengan masyarakat luas. Pada saat
itu dilakukan kegiatan bersama-sama dengan unsur masyarakat. Masa tahanan yang
harus dijalani pada tahap ini adalah sampai berkisar 1/2 dari masa pidana yang
sebenarnya.
3.
Tahap Asimilasi dalam Arti Luas
Jika narapidana sudah menjalani
kurang dari 1/2 masa pidana yang sebenarnya menurut Dewan Pembinaan Pemasyarakatan
dinyatakan proses pembinaannya telah mencapai kemajuan yang lebih baik lagi,
maka mengenai diri narapidana maupun unsur-unsur masyarakat, maka wadah proses
pembinaan diperluas ialah dimulai dengan usaha asimilasi para narapidana dengan
penghidupan masyarakat luar yaitu seperti kegiatan mengikutsertakan pada
sekolah umum, bekerja pada badan swasta atau instansi lainnya, cuti pulang
beribadah dan berolahraga dengan masyarakat dan kegiatan-kegiatan lainnya. Pada
saat berlangsungnya kegiatan segala sesuatu masih dalam pengawasan dan
bimbingan petugas lembaga pemasyarakatan.
4.
Tahap Integrasi
dengan Lingkungan Masyarakat.
Tahap ini adalah tahap terakhir pada proses pembinaan
dikenal dengan istilah integrasi. Bila proses pembinaan dari tahap Observasi,
Asimilasi dalam arti sempit, Asimilasi dalam arti luas dan Integrasi dapat
berjalan dengan lancar dan baik serta masa pidana yang sebenarnya telah
dijalani 2/3-nya atau sedikitnya 9 bulan, maka kepada narapidana dapat
diberikan pelepasan bersyarat atau cuti bersyarat yang penetapan tentang
pengusulannya ditentukan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan. Dalam tahap ini proses pembinaannya
adalah berupa masyarakat luas sedangkan pengawasannya semakin berkurang
sehingga narapidana akhirnya dapat hidup dengan masyarakat. Adapun pelaksanaan
lepas bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani 2/3 (dua per
tiga) dari masa pidananya dan didasarkan kepada ketentuan dari Pasal 15a (1 s/d
6), Pasal 15b (1 s/d 3), Pasal 16 (1 s/d 4) dan Pasal 17 KUHPidana.
E. Klasifikasi
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum
ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana
yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni
suatu lembaga pemasyarakatan atau orang-orang tahanan itu terdiri dari :
1. Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan;
2. Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;
3. Orang-orang yang disandera.
4. Lain-lain orang yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana
kurungan, akan tetapi secara sah telah dimasukkan ke dalam lembaga
pemasyarakatan.
Golongan orang-orang yang dapat dimasukkan
atau ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan itu ialah :
1. Mereka
yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan;
2. Mereka
yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
3. Mereka
yang telah dijatuhi hukuman pidana hilang kemerdekaan oleh pengadilan negeri
setempat;
4. Mereka
yang dikenakan pidana kurungan;
5. Mereka
yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan, akan tetapi dimasukkan ke
lembaga pemasyarakatan secara sah.
F.
Faktor Penghambat dan Pendukung
Pembinaan Narapidana
Dalam proses pembinaan narapidana oleh
Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana, sarana dan prasarana pun di satu sisi bisa jadi
penghambat, dan di sisi lain bisa jadi pendukung guna mencapai
keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
1. Sarana
Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan
representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat
mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian
besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan
kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang
mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya. Selain
dari itu kapasitas dari Gedung Pemasyarakatan tersebut, terkadang Kapasitas satu
ruangan idealnya untuk dua orang, sekarang malah 10 orang dalam satu ruangan,
sehingga dengan kelebihan kapasitas ini bisa menimbulkan masalah terhadap
narapidana lain, dan akhirnya bisa menimbulkan kerusuhan di Lembaga
Pemasayarakatan tersebut.
2. Pembinaan
Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan
di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam
jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak
berfungsi lagi, atau kalau itu
berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di
luar (hasil produksi perusahan).
3. Petugas
Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Petugas pemasyarakatan adalah pegawai
negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga
pemasyarakatan. Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya
tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif
belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan
humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta
dalam melakukan pembinaan.