PEMBAHASAN
A. Tugas, Pokok, dan Fungsi Kejaksaan dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia
a.
Kejaksaan Republik Indonesia
Salah
satu lembaga tertua dalam sistem penegakan hukum/ salah
satu komponen dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah Kejaksaan atau adhyaksa
atau jaxa. Sejarah panjang tentang Kejaksaan di Indonesia sudah
dimulai sejak masa nusantara. Kejaksaan sejak era nusantara memegang peranan
penting dalam sistem peradilan pidana, bahkan urusan keagamaan menjadi wilayah
kewenangan Kejaksaan pada era nusantara. Sampai sekarang, Kejaksaan memegang
peranan tidak hanya dalam lingkup peradilan pidana, melainkan juga dalam
perkara perdata, tata usaha negara dan juga ketertiban umum dan masyarakat.
Kejaksaan Republik
Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya
di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan
keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU
No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga
penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan
RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka,
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya
(Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).
Kejaksaan Republik
Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
secara merdeka terutama pelaksanaan tugas dan kewenangan di bidang penuntutan
dan melaksanakan tugas dan kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan
perkara tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM berat serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang. Pelaksanaan kekuasaan
negara tersebut diselenggarakan oleh:
·
Kejaksaan Agung, berkedudukan di
ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh
seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat
negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia.
Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
·
Kejaksaan tinggi, berkedudukan di
ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan
Tinggi dipimpin oleh seorang kepala Kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan
dan penanggung jawab Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas,
dan wewenang Kejaksaan di daerah hukumnya.
·
Kejaksaan negeri, berkedudukan di
ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan
Negeri dipimpin oleh seorang kepala Kejaksaan negeri yang merupakan pimpinan
dan penanggung jawab Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas,
dan wewenang Kejaksaan di daerah hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu
terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan
Negeri.
b.
Tugas dan wewenang Kejaksaan
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dalam UU No.
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30,
yaitu :
1)
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang:
·
Melakukan penuntutan;
·
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
·
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
·
Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang;
·
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam *pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2)
Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan
dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk
dan atas nama negara atau pemerintah
3)
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan
turut menyelenggarakan kegiatan:
·
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
·
Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
·
Pengamanan peredaran barang cetakan;
·
Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan negara;
·
Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan
agama;
·
Penelitian dan pengembangan hukum statistik
kriminal.
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004
menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang
terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak
karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal
yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan
wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama
dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi
lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan
pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
Republik Indonesia, juga di dalam KUHAP diatur
tugas dan kewenangan tersebut. Berdasarkan hal tersebut menurut Djoko Prakoso
(1988:23-25) dapat diinventarisir kewenangan yang diatur dalam KUHAP tersebut
sebagai berikut :
a)
Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal
penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) dapat kita lihat bahwa tugas dan
wewenang Kejaksaan memang sangat menentukan dalam membuktikan apakah seseorang
atau korporasi terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak. Selain tugas
dan wewenang yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1), maka dimungkinkan pula Kejaksaan
diberikan tugas dan wewenang tertentu berdasarkan Undang-Undang yang lain
selain Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia misalnya
dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme. Hal
ini diatur dalam Pasal 32 Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia yang tertulis :
“Di samping tugas dan
wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang”.
Dalam hal penuntutan
pihak Kejaksaan sebagai Penuntut Umum setelah menerima berkas atau hasil
penyidikan dari penyidik segera setelah menunjuk salah seorang jaksa untuk
mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya diajukan kepada
Kepala Kejaksaan Negeri (KAJARI). Menurut Leden Marpaung (1992:19-20) bahwa ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses penuntutan yaitu :
1)
Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
karena ternyata belum lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan
penyidik (prapenuntutan)
2)
Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas
3)
Hasil penyidikan telah lengkap tetapi tidak
terdapat bukti cukup atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjutnya disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika saran disetujui maka
diterbitkan surat ketetapan. Atas surat ketetapan dapat diajukan praperadilan.
4)
Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat
diajukan ke pengadilan Negeri. Dalam hal ini KAJARI menerbitkan surat
penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah
surat dakwaan rampung kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang
ditujukan kepada Pengadilan Negeri.
Selain tugas dan wewenang Kejaksaan yang diatur
dalam Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan tindak pidana (Pasal 109
ayat (1)) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik pegawai negeri
sipil yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan
dihentikan demi hukum.
b)
Menerima berkas perkara dari penyidik dalam
tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan
b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari
penyidik pembantu (Pasal 12).
c)
Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b)
dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal 138
ayat (1) dan (2).
d)
Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat
(2), melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2), penahanan kota (Pasal 22
ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23).
e)
Atas permintaan tersangka atau terdakwa
mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan dalam hal
tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).
f)
Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang
lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai
putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap
atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45
ayat (1)).
g)
Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan
antara penasehat hukum dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya
(Pasal 70 ayat (4)) dan mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan
tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1)) dan dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut
(Pasal 71 ayat (2)).
h)
Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk menerima sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan
oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum,
keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
i)
Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana
itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka
penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya
dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang
berwenang (Pasal 91 ayat (1)).
j)
Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara
telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal
139).
k)
Mengadakan tindakan lain antara lain meneliti
identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas
wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan (Pasal 14
huruf i).
l)
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari
hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia
membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1).
m) Membuat surat penetapan
penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a.
n)
Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang
dihentikan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d).
o)
Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya
dalam satu surat dakwaan (Pasal 141).
p)
Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing)
terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan
beberapa orang tersangka (Pasal 142).
q)
Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan
disertai surat dakwaan beserta berkas perkara (Pasal 143 ayat (1).
r)
Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2).
s)
Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak
melanjutkan penuntutan, penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang
dimulai (Pasal 144).
c.
Fungsi Kejaksaan
Fungsi daripada Kejaksaan
, antara lain :
1.
Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan
kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian
perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
2.
penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan
prasarana dan sarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan
tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;
3.
pelaksanaan penegakan hukum
baik preventif maupun yang berintikan keadilan di bidang pidana;.
4.
pelaksanaan pemberian bantuan di bidang
intelijen yustisial, dibidang ketertiban dan
ketentraman umum,
pemberian bantuan,
pertimbangan, pelayanan dan
penegaakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan
hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian
hukum, kewibawaanm pemerintah
dan penyelamatan kekayaan negara,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang
ditetapkan Jaksa Agung;
5.
penempatan seorang tersangka atau terdakwa di
rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan
penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal - hal
yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
6.
pemberian pertimbangan hukum kepada instansi
pemerintah, penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran
hukum masyarakat;
7.
koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk
teknis serta pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas
pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
B. Integrasi dan Interkoneksi Kejaksaan dengan Sub-Sistem
Penegak Hukum Lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Pada awalnya kelahiran KUHAP mampu memberikan
harapan akan terwujudnya penegakan hukum pidana yang lebih efektif, adil dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dibandingkan hukum acara yang
berlaku sebelumnya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Namun demikian
setelah 28 tahun berlaku, harapan-harapan terhadap KUHAP telah berubah menjadi
pertanyaan-pertanyaan akan harapan terwujudnya penegakan hukum yang
dicita-citakan. Disamping itu seiring dengan perkembangan masyarakat dan
kompleksitas penanganan masalah hukum dalam proses penegakannya, banyak
ditemukan ketentuan-ketentuan KUHAP yang mengandung penafsiran sekehendak dari
pihak yang berkepentingan sehingga menghilangkan aspek kepastian hukumnya.
Sebagai subsistem dari substansi hukum, KUHAP menjadi
pedoman umum yang dijadikan landasan bekerjanya sistem peradilan pidana oleh
lembaga penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan serta Penasehat Hukum. Dengan demikian kondisi yang ada pada
KUHAP dengan kekurangan dan kelebihannya akan menjadi sangat mempengaruhi
bekerjanya sistem peradilan pidana, bahkan tidak mungkin kelemahan yang ada
pada KUHAP akan mengarah pada terjadinya kerusakan sistem peradilan pidana.
Demikian pula yang terjadi dalam hal hubungan antar
lembaga penegak hukum berdasarkan kewenangannya masing-masing. Diawali dengan
bekerjanya kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai gerbang utama dimulainya
prosedur penegakan hukum. Bisa dikatakan dominasi kedua lembaga ini akan sangat
menentukan proses penegakan hukum yang selama ini berjalan, bahkan ada pendapat
yang menagatakan prosedur yang selama ini berjalan membagi fungsi penegakan
dalam dua sistem yang terpisah, yakni penyidikan (crimininal investigation) dan
penuntutan (prosecution) sebagai bagian terpenting dalam penegakan hukum
dirancang untuk dilaksanakan oleh subsistem yang terpisah. Penyidikan menjadi
fungsi utama subsistem Kepolisian, sementara penuntutan sepenuhnya menjadi
fungsi subsistem Kejaksaan.
1.
Hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan.
Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua instansi
penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Keduanya
seharusnya dapat bekerja sama dan melakukan koordinasi dengan baik untuk
mencapai tujuan dari sistem ini. Akan tetapi dalam prakteknya sering terjadi
miskoordinasi sehingga berpengaruh terhadap proses penuntutan yang menjadi
kewenangan Kejaksaan, karena keberhasilan dalam melakukan penuntutan tergantung
dari hasil penyidikan yang tepat dan dukungan alat bukti yang cukup.
KUHAP telah mengatur dan menentukan hubungan
penyidikan dan penuntutan, dalam beberapa aspek yakni :
1)
Pemberitahun telah dimulainya
Penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 1);
2)
Pemberitahuan Penghentian Penyidikan
(Pasal 109 ayat 2), sebaliknya dalam hal Penuntut Umum menghentikan penuntutan,
ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik ( Pasal 140 ayat 2 huruf c );
3)
Penuntut Umum memberikan
perpanjangan penahanan atas permintaan penyidik ( Pasal 14 huruf c, Pasal 24
ayat 2 );
4)
Kegiatan Prapenuntutan (Pasal 14,
Pasal 110 ayat (3) dan (4), Pasal 138 KUHAP).
5)
Penuntut Umum memberikan turunan
surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada penyidik ( Pasal 143 ayat 4 ),
demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia memberikan
turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik ( Pasal 144 ayat 3 );
6)
Dalam acara pemeriksaan cepat,
penyidik atas kuasa Penuntut Umum ( demi hukum ), melimpahkan berkas perkara
dan menghadapkan terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang
pengadilan ( Pasal 205 ayat 2 ).
Dalam praktek, pelaksanaan fungsi penyidikan dan
penuntutan sebagaimana diatur dalam KUHAP masih sering ditemui berbagai
permasalahan, antara lain :
a)
Penyidik sejak mulai melakukan
Penyelidikan harus sudah menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
kepada Penuntut Umum (vide Pasal 109 ayat 1), namun demikian sering ditemui
penyerahan SPDP disertai dengan penyerahan Berkas Perkara tahap pertama, hal
tersebut tentunya menjadi pertanyaan, bahwa mana bisa penyidikan telah selesai
dilkakukan dan harus diserahkan kepada penuntut umum (vide pasal 110 ayat 1),
pada waktu bersamaan dikeluarkannya SPDP.
b)
Penuntut umum setelah menerima hasil
penyidikan segera mempelajari dan menelitinya. Kemudian dalam waktu tujuh hari
wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap
atau belum (vide Pasal 138 ayat 1), kemudian jika dalam waktu 14 hari penuntut
tidak memberitahukan/mengembalikan hasil penyidikan (berkas perkara) maka
penyidikan dianggap telah selesai (vide Pasal 110 ayat 4). Hal sebaliknya tidak
berlaku bagi penyidik, yang seharusnya setelah waktu 14 hari setelah menerima pengembalian
berkas perkara beserta petunjuk penuntut umum harus sudah kembali, namun sering
kali penyidik tidak mengirim kembali berkas perkara kepada penuntut umum. Dan
kondisi ini tidak ada konsekuensi bagi penyidik, sehingga penyelesaian berkas
perkara semakin lama.
c)
Berkas perkara bolak-balik antara
penyidik dan penuntut umum dalam hal ada petunjuk yang harus dipenuhi dalam
rangka kelengkapan berkas perkara. Contoh kasus perdata yang dipidanakan,
sehingga berkas bolak-balik tidak bisa ketemu dan tidak dapat memberikan
petunjuk untuk mengeluarkan SP3.
d)
Adanya pengembalian berkas oleh
penyidik kepada penuntut umum dengan catatan “sudah maksimal, karena tidak
dapat melengkapi berkas sebagaimana petunjuk umum, sedangan penuntut umum
diberikan kewenangan terbatas hanya untuk melakukan pemeriksaan diluar
tersangka, serta tidak ada pengaturan mengenai status tahanannya.
Disamping itu selama ini, tugas penyidikan dirasa
selesai hanya sebatas telah diserahterimakannya berkas perkara, tersangka dan
barang bukti ke Penuntut Umum pasca berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21)
oleh Penuntut Umum. Selanjutnya tanggung jawab penyelesaian perkara untuk
disidangkan dan diperiksa di pengadilan adalah tanggungjawab penuh Kejaksaan.
Dalam melaksanakan kewenangan penyelidikan dan
penyidikan, KUHAP juga telah mengatur hubungan penyidik dengan
Hakim/pengadilan, yakni:
a.
Ketua Pengadilan Negeri dengan
keputusannya memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 29
atas permintaan penyidik;
b.
Atas permintaan Penyidik, Ketua
Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin penggeledahan rumah atau
penyitaan dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33 ayat 1, Pasal
38 ayat 1);
c.
Penyidik wajib segera melapor kepada
Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan
yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana
dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2;
d.
Penyidik memberikan kepada panitera
bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan kepada terpidana (Pasal 214
ayat 3);
e.
Panitera memberitahukan kepada
penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa (Pasal 214 ayat 7)
Berpijak pada kerangka sistem peradilan pidana,
sesungguhnya penyidikan merupakan bagian integral dari penuntutan. KUHAP telah
menentukan bahwa untuk dapat atau tidaknya suatu perkara dinyatakan lengkap dan
kemudian dapat atau tidaknya diperiksa di pengadilan sampai dengan pelaksanaan
putusan pengadilan adalah kewenangan Kejaksaan, untuk itu ada tanggung jawab
moral Lembaga Kejaksaan karena peran dan wewenangnya yang begitu central untuk
secara intens mengikuti perkembangan penyidikan yang dilakukan penyidik, namun
demikian melihat permasalahan yang sering muncul dan terbatasnya waktu yang
diberikan KUHAP kepada Lembaga Kejaksaan menimbulkan permasalahan yang suatu
waktu dapat muncul dipersidangan, dan mempengaruhi proses persidangan itu
sendiri.
Kedepan dalam rangka penyusunan Undang-undang Hukum
Acara Pidana yang baru, hendaknya permasalahan tersebut diatas dapat
terakomodir dengan baik dan ketentuan yang dirumuskan mampu mengeliminir causa
ketidakharmonisan hubungan Kepolisian dan Kejaksaan.
2.
Hubungan Kejaksaan, Pengadilan dan
Penasehat Hukum (Advokat)
Proses selanjutnya setelah berkas perkara dinyatakan
lengkap dan dapat dilimpahkan ke pengadilan adalah melakukan pemeriksaan dan
mengadili terdakwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang didakwakan.
Dalam proses ini melibatkan Jaksa Penuntut Umum (Kejaksaan), Hakim (Lembaga
Pengadilan) dan Penasehat hukum.
Bagaimana badan peradilan berdasarkan KUHAP
menyelenggarakan proses peradilannya. KUHAP memiliki sepuluh asas sebagai
berikut :
1.
Perlakuan yang sama di muka hukum;
2.
Praduga tidak bersalah;
3.
Hak untuk memperoleh kompensasi
(ganti rugi) dan rehabilitasi;
4.
Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5.
Hak kehadiran terdakwa di muka
pengadilan;
6.
Peradilan yang bebas, dan dilakukan
dengan cepat dan sederhana;
7.
Peradilan yang terbuka untuk umum;
8.
Pelanggaran atas hak-hak warganegara
(penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan
berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
9.
Hak tersangka untuk diberitahu
tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
10. Kewajiban
pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa KUHAP menganut “due process of law” (proses hukum yang adil atau layak).
Suatu proses hukum yang adil pada intinya adalah hak seorang tersangka dan
terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu
terjadi; dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh penasihat
hukum; diapun berhak mengajukan pembelaan, dan penuntut umum harus membuktikan
kesalahannya di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak
berpihak.
Prinsip “equality before the law” merupakan salah satu
ciri dalam sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP, dimana dalam praktek
persidangan, menjamin kesetaraan antara lembaga-lembaga anggota sistem
peradilan pidana. Kedudukan Jaksa sebagai penuntut umum disatu pihak dan
kedudukan terdakwa bersama penasehat hukumnya disatu pihak memiliki posisi dan
porsi yang sama didepan persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim.
3.
Hubungan Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan.
Penyelenggaraan peradilan pidana bermuara pada dikeluarkannya
putusan oleh hakim pengadilan, putusan mana mencerminkan fakta-fakta yang
muncul dipersidangan baik yang bersumber dari Penuntut Umum dan terdakwa
bersama Penasehat Hukumnya yang tentunya harus disertai dengan alat-alat bukti
pendukung yang cukup dan kuat, sehingga memberikan keyakinan kepada Hakim untuk
menjatuhkan putusan pidananya.
Undang-undang Nomor : 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 54
mengatur tentang putusan, pelaksanaan dan pengawasan putusan pengadilan, yakni
:
1)
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam
perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
2)
Pengawasan pelaksanaan putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan
yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.
3)
Pelaksanan putusan pengadilan dalam
perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua
pengadilan.
4)
Putusan pengadilan dilaksanakan
dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Kewenangan Kejaksaan sebagai pelaksana putusan
pengadilan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor : 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,
antara lain ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b dan c yakni :
·
Melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
·
Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan
lepas bersyarat.
Terkait pelaksanaan pengawasan putusan
pengadilan dalam perkara pidana juga terletak pada tanggung jawab Ketua
Pengadilan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 48 tahun 2009 telah ditentukan dan diatur dalam KUHAP,
yakni Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 yang menentukan antara lain :
1.
Pada setiap pengadilan harus ada
hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan
dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan (vide Pasal 277 ayat 1), hakim yang dimaksud dinamakan Hakim
pengawas.
2.
Hakim pengawas dan pengamat
mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan
dilaksanakan sebagaimana mestinya (vide Pasal 280 ayat 1).
3.
Hakim pengawas dan pengamat
mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat
bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga
pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani
pidananya (vide Pasal 280 ayat 2).
4.
Atas permintaan hakim pengawas dan
pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala
atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam
pengamatan haikm tersebut (vide Pasal 281).
5.
Jika dipandang perlu demi
pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan
kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu (vide
Pasal 282).
Tujuan yang terkandung dalam kaidah ini adalah agar
terdapat jaminan, bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Di samping itu untuk lebih mendekatkan pengadilan tidak
saja dengan lembaga Kejaksaan tetapi juga dengan Lembaga Pemasyarakatan.
Pengawasan tersebut menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana
dan menetapkan tugas hakim tidak berakhir pada saat putusan dijatuhkan olehnya.
Namun demikian kaidah tersebut jarang sekali atau
bahkan mungkin tidak terlaksana sama sekali dalam prakteknya, sehingga
selesainya peradilan pidana tidak diikuti proses pembinaan secara terpadu. Hal
ini tentunya tidak sesuai dengan keinginan pemasyarakatan yang sebenarnya,
yakni sebagai proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para
narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.
Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan diharapkan agar para terpidana mampu
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya.
Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana,
tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan
memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
Namun demikian untuk mencapainya, tentu saja diperlukan pola pembinaan yang
terencana dan terukur serta didukung sarana prasara LP yang memadai.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu sebagaimana yang
dianut dalam KUHAP, memberikan konsekuensi pada keterpaduan dalam mewujudkan
model penegakan hukum yang terpadu antara seluruh subsistem yang ada
didalamnya. Keterpaduan tersebut dimulai dari kesesuaian dan bersinergi antara
setiap peraturan perundang-undangan dibidang peradilan, memiliki pola
pendidikan yang memadai, terorganisir dengan baik berupa pelatihan dan
penerapan disiplin tinggi dari seluruh aparat penegak hukum, sehingga mereka
memiliki pola pikir dan pandangan yang sama dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai yakni kepastian hukum dan keadilan yang sama
bagi seluruh masyarakat, karena sesungguhnya anggota sistem peradilan pidana
tersebut, meskipun berbeda fungsi namun bekerja pada tujuan dan untuk
kepentingan yang sama yakni tersangka/terdakwa/terpidana, yang notabene adalah
anggota masyarakat. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi
masyarakat yang tinggi untuk bersama-sama memberikan respon terhadap
penyelenggaraan penegakan hukum.
Saat ini peradilan pidana di Indonesia tengah
dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan citranya dimasyarakat, sehingga
peradilan pidana dapat dipercaya sebagai suatu sistem yang menjamin bekerjanya
hukum sesuai dengan yang dicita-citakan. Oleh sebab itu bekerjanya sistem
peradilan pidana harus selalu diupayakan melalui rencana dan program kerja
pemerintah dibidang peradilan pidana yang bersifat terbuka dan transparan
sebagai lawan dari sistem yang bersifat rahasia, samar dan tidak responsif.
Sistem peradilan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat juga
merupakan bagian dari konsep pemerintahan yang baik, yang pada gilirannya
menjamin keberhasilan mayarakat yang berkelanjutan.